Oligarki Vs Oli Bekas

Hadi Hartono
By -
0

Oligarki vs Oli Bekas

Oleh: Hadi Hartono



Ketika Kekuasaan Tak Bernoda Namun Minyak Sisa Berbau Nyata

Di sudut kota yang tak pernah disebut dalam berita utama, seorang pria dengan tangan hitam legam sedang memutar baut di bawah mobil tua berpelat kuning. Suara kunci pas, gelegak mesin, dan aroma tajam dari oli bekas menyelimuti bengkel kecil itu. Namanya Salim. Tak banyak orang mengenalnya. Tapi bagi mereka yang tinggal di sekitar kawasan industri yang penuh debu itu, Salim adalah penyelamat kendaraan yang tak lagi bisa ditolong oleh montir berjas putih di showroom ibukota.




Sementara itu, di layar kaca, berita hari itu memperlihatkan wajah-wajah familiar: politisi yang merangkap pengusaha, konglomerat yang memeluk jabatan strategis, dan penguasa yang tersenyum dalam pesta demokrasi yang katanya merakyat. Mereka, para pemilik kekuasaan dan modal, menyusun peta baru tentang siapa yang boleh berbicara dan siapa yang sebaiknya diam. Di sinilah istilah ‘oligarki’ kembali muncul, bukan sekadar sebagai teori ekonomi atau istilah akademik, tapi sebagai kenyataan yang menyusup ke kehidupan sehari-hari.


Di dua dunia yang berseberangan itu—antara gedung tinggi dan kolong mobil tua—terdapat dua simbol yang mencolok: oligarki, simbol kekuasaan yang sulit dijangkau dan tak mudah digugat; dan oli bekas, sisa pelumas yang mungkin kotor, tetapi justru menjaga mesin agar tetap berjalan. Dan di tengah pertarungan senyap antara keduanya, ada narasi besar yang kerap luput dibaca: siapa sebenarnya yang lebih ‘berguna’ bagi kehidupan nyata?



Wajah Kekuasaan Tanpa Pelumas

Oligarki, jika ditelaah secara sosiologis dan politis, merujuk pada segelintir elite yang menguasai sumber daya utama dalam suatu negara. Mereka mungkin tak selalu tampil di kursi eksekutif, tetapi mereka punya jaringan yang menembus batas partai dan kebijakan. Di negeri ini, fenomena oligarki bukanlah hal baru. Sejak era Orde Baru, ketika kekuasaan dikendalikan oleh lingkaran sempit keluarga dan kroni, hingga era reformasi yang ternyata hanya mengganti kulit namun menyisakan isi yang nyaris sama.


Mereka ada di balik konsesi tambang, pemilik bank, distributor makanan pokok, pemilik media, bahkan pemilik pabrik oli yang pasarnya dimonopoli. Mereka tidak hanya menguasai ekonomi, tapi juga opini publik. Mereka bisa membuat isu tentang minyak goreng langka, sementara gudangnya penuh. Mereka bisa membuat aturan tentang subsidi BBM, sembari menaikkan harga saham perusahaan mereka sendiri.


Yang menarik, oligarki selalu tampil bersih. Mereka wangi, rapi, dan terorganisir. Tak ada noda oli di lengan jas mereka, tak ada jejak lumpur di sepatu kulit mereka. Mereka berbicara tentang “pertumbuhan” dan “investasi” dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang pernah sekolah di luar negeri atau punya waktu untuk memahami grafik di layar monitor Bloomberg.


Namun, jika diurai lebih dalam, sistem oligarki sering kali bekerja seperti mesin tua tanpa pelumas. Ia mungkin terlihat mengilap dari luar, tapi di dalamnya penuh gesekan dan karat. Ketimpangan sosial adalah salah satu akibatnya. Ketika segelintir orang menguasai kekayaan negara, jutaan lainnya harus berebut sisa.



Oli Bekas yang Menjaga Mesin Tetap Hidup

Berbeda dengan oli baru yang dijual dalam botol bermerek dengan harga mahal, oli bekas nyaris tak punya nilai jual. Ia kotor, hitam, dan lengket. Namun, di tangan orang seperti Salim, oli bekas punya peran penting. Kadang, mobil tua milik pelanggan tak mampu membeli pelumas baru. Maka oli bekas dijadikan solusi, sekadar agar piston dan gear tak saling menghantam dalam suhu tinggi.


Oli bekas bisa jadi simbol dari rakyat kecil yang terus berputar dalam sistem yang sudah aus. Mereka tahu tak bisa berharap banyak dari negara. Tapi mereka tetap bekerja, menambal kekurangan, dan menjaga agar mesin kehidupan tidak macet total. Salim tahu, oli bekas tak akan pernah masuk televisi. Tapi ia tahu pula bahwa tanpanya, banyak kendaraan di kampung itu akan mati mesin dan mogok di tengah jalan.


Di sinilah letak ironi itu. Di satu sisi, oli bekas adalah limbah yang dihindari oleh sistem besar. Tapi dalam praktiknya, ia sering kali lebih nyata, lebih fungsional, dan lebih jujur dari para pemilik kekuasaan yang hanya hadir saat kampanye atau saat muncul skandal.


Antara Sistem dan Keringat

Ada satu malam ketika Salim duduk di bangku kayu depan bengkelnya. Di tangannya, selembar koran bekas yang tak sengaja ia pungut dari tumpukan kardus. Di sana tertulis berita tentang seorang tokoh nasional yang sedang diperiksa karena kasus korupsi. Nilai kerugiannya triliunan. Salim membaca dengan alis berkerut. Baginya, angka sebesar itu tak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa bermain uang sebesar itu, sementara dirinya harus menabung berminggu-minggu hanya untuk membeli kunci inggris baru?


Ia tidak marah. Ia tidak meluapkan sumpah serapah. Tapi malam itu, Salim berpikir, apakah negara ini sedang dijalankan oleh para penguasa, atau oleh orang-orang kecil yang menambal kekurangan dengan tangan kotor mereka?


Sementara itu, para oligarki tetap tersenyum. Mereka tahu sistem ada di tangan mereka. Mereka bisa membuat regulasi, membentuk opini, bahkan mengatur siapa yang boleh menjadi lawan politik. Di dunia mereka, oli bekas tidak penting. Yang penting adalah branding, modal, dan kekuasaan.


Namun mereka lupa satu hal. Mesin tak bisa berjalan hanya karena pemiliknya kaya. Mesin butuh pelumas. Dan dalam kehidupan nyata, pelumas itu sering kali berasal dari kerja keras, keringat, dan solusi yang ditemukan oleh rakyat kecil.


Simbol-Simbol yang Berbicara

“Oligarki vs Oli Bekas” bukanlah sekadar perbandingan istilah. Ia adalah metafora tentang pertarungan diam antara kekuasaan yang jauh dan kehidupan yang nyata. Antara mereka yang menentukan arah dari atas, dengan mereka yang menyambung hidup dari bawah. Keduanya mungkin sama-sama dibutuhkan dalam sistem, tapi hanya satu yang benar-benar menyentuh tanah.

Oligarki bersembunyi di balik kebijakan dan statistik. Mereka membuat angka-angka tampak membaik meskipun kenyataan di lapangan tidak berubah. Sementara oli bekas tidak berpura-pura bersih. Ia hitam, ia bau, tetapi ia jujur.


Dalam masyarakat yang mulai lelah dengan retorika, barangkali sudah saatnya kita mulai menghargai hal-hal yang nyata, meskipun tampak remeh. Mulai dari tukang tambal ban di pinggir jalan yang tetap bekerja meski kena panas matahari, hingga pedagang kecil yang tak pernah tahu siapa menteri perdagangan, tapi selalu mencari cara agar dagangannya laku.


Oligarki boleh merancang masa depan, tapi oli bekaslah yang menjalankan hari ini.


Epilog: Siapa yang Lebih Berguna?

Di akhir hari, mungkin kita tak benar-benar harus memilih antara keduanya. Tapi kita perlu memahami siapa yang lebih berdampak pada hidup sehari-hari. Oligarki boleh saja membentuk sistem, tapi sistem itu tak akan jalan jika tak ada yang menjalankannya.


Salim, dengan bajunya yang penuh noda minyak, mungkin tak akan masuk daftar orang berpengaruh di majalah bisnis. Tapi mobil tua milik ibu guru di kampung itu bisa sampai ke sekolah esok pagi karena dia.


Dan mungkin, dalam dunia yang semakin penuh topeng ini, kejujuran oli bekas lebih penting dari kekuasaan yang tampak bersih tapi penuh manipulasi.



Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn more
Ok, Go it!