Sistem Pemerintahan Komunisme Modern Tiongkok
Oleh: Hadi Hartono*)
Selama lebih dari tujuh dekade, Republik Rakyat Tiongkok berdiri dengan sistem pemerintahan satu partai di bawah kendali Partai Komunis Tiongkok (PKT). Namun, sistem yang dulunya sangat tertutup dan ideologis itu kini tampil dalam wajah yang lebih fleksibel—menggabungkan kontrol politik yang ketat dengan kebijakan ekonomi yang pragmatis dan modern.
Artikel ini membahas bagaimana sistem pemerintahan komunis di Tiongkok berkembang dan beradaptasi dalam konteks kekinian, serta tantangan yang dihadapinya di tengah globalisasi dan perubahan teknologi.
1. Satu Partai, Banyak Fungsi
Tiongkok menganut sistem satu partai, di mana Partai Komunis Tiongkok (PKT) menjadi pusat dari segala pengambilan keputusan politik dan administratif. Presiden Tiongkok juga merupakan Sekretaris Jenderal PKT dan Ketua Komisi Militer Pusat, menjadikan posisi tersebut sebagai tokoh paling berkuasa.
Berbeda dengan negara demokrasi liberal yang mengenal pemilu multipartai dan oposisi, Tiongkok mengandalkan struktur hierarkis partai yang menyaring kader-kader terbaik untuk memimpin berdasarkan loyalitas, kinerja, dan pengalaman birokratis.
2. Komunisme ala Tiongkok: “Sosialisme dengan Karakteristik Tiongkok”
Sejak era Deng Xiaoping (akhir 1970-an), Tiongkok meninggalkan pendekatan ekonomi komando Mao Zedong dan memperkenalkan reformasi ekonomi pasar terbatas. Muncullah istilah "sosialisme dengan karakteristik Tiongkok", yang berarti:
Negara tetap memiliki kendali atas sektor strategis (energi, keuangan, pertahanan)
Tapi membuka ruang bagi kapitalisme domestik dan investasi asing
Tiongkok memiliki perusahaan swasta raksasa, tapi semua tunduk pada arahan politik PKT
Model ini sukses mengangkat ratusan juta orang dari kemiskinan dan menjadikan Tiongkok ekonomi terbesar kedua di dunia, meskipun kesenjangan sosial dan kontrol politik tetap menjadi sorotan.
3. Teknokrasi Modern: Pemerintahan Berbasis Data dan Efisiensi
Salah satu ciri sistem pemerintahan Tiongkok saat ini adalah pendekatan teknokratis: pemimpin diangkat berdasarkan kompetensi teknis, bukan popularitas. Kota-kota besar seperti Shenzhen dan Shanghai dikelola seperti korporasi besar, dengan target pembangunan jangka panjang, efisiensi birokrasi, dan evaluasi kinerja berjenjang.
Tiongkok juga mengembangkan sistem Social Credit Score, di mana perilaku warga dinilai berdasarkan kepatuhan sosial dan ekonomi—sebuah bentuk kontrol sosial digital yang belum ada padanannya di dunia.
4. Tantangan Internal dan Eksternal
Di tengah kesuksesan ekonomi dan stabilitas politik, Tiongkok juga menghadapi berbagai tantangan:
Hak asasi manusia dan kebebasan sipil menjadi sorotan dunia, terutama soal Tibet, Xinjiang, dan Hong Kong.
Transparansi dan kritik terhadap pemerintah sangat terbatas karena media dan internet disensor ketat.
Secara global, sistem pemerintahan ini mendapat tekanan dari negara-negara liberal karena dianggap membatasi demokrasi dan ekspansi nilai universal.
Namun, banyak negara berkembang justru melihat "model Tiongkok" sebagai alternatif efektif untuk mencapai stabilitas dan kemajuan tanpa harus mengadopsi sistem demokrasi liberal Barat.
Sistem pemerintahan komunis Tiongkok di era modern bukanlah komunisme klasik yang stagnan, melainkan bentuk baru pemerintahan otoriter yang efisien dan adaptif. Ia memadukan sentralisasi politik dengan kebijakan ekonomi terbuka, serta teknologi tinggi sebagai alat kontrol dan pembangunan.
Apakah model ini akan menjadi "contoh baru" bagi negara lain? Atau justru menyimpan risiko jangka panjang yang belum terlihat?
Satu hal yang pasti: Tiongkok telah membuktikan bahwa stabilitas politik bukan satu-satunya milik demokrasi, dan bahwa kekuasaan terpusat pun bisa menciptakan perubahan besar—dengan biaya dan konsekuensi yang berbeda.
Di tengah kesuksesan ekonomi dan stabilitas politik, Tiongkok juga menghadapi berbagai tantangan:
Hak asasi manusia dan kebebasan sipil menjadi sorotan dunia, terutama soal Tibet, Xinjiang, dan Hong Kong.
Transparansi dan kritik terhadap pemerintah sangat terbatas karena media dan internet disensor ketat.
Secara global, sistem pemerintahan ini mendapat tekanan dari negara-negara liberal karena dianggap membatasi demokrasi dan ekspansi nilai universal.
Namun, banyak negara berkembang justru melihat "model Tiongkok" sebagai alternatif efektif untuk mencapai stabilitas dan kemajuan tanpa harus mengadopsi sistem demokrasi liberal Barat.
Sistem pemerintahan komunis Tiongkok di era modern bukanlah komunisme klasik yang stagnan, melainkan bentuk baru pemerintahan otoriter yang efisien dan adaptif. Ia memadukan sentralisasi politik dengan kebijakan ekonomi terbuka, serta teknologi tinggi sebagai alat kontrol dan pembangunan.
Apakah model ini akan menjadi "contoh baru" bagi negara lain? Atau justru menyimpan risiko jangka panjang yang belum terlihat?
Satu hal yang pasti: Tiongkok telah membuktikan bahwa stabilitas politik bukan satu-satunya milik demokrasi, dan bahwa kekuasaan terpusat pun bisa menciptakan perubahan besar—dengan biaya dan konsekuensi yang berbeda.
*)Pemerhati Kebijakan Publik, dan Alumni GMNI